Kamis, 21 Januari 2021

*WAHABI, SYAFI'I DAN ASWAJA*

*WAHABI, SYAFI'I DAN ASWAJA*

Ketiga kata di atas makin sering kita dengar di ranah awam ketika terjebak dalam pembicaraan atau debat di sosmed tentang perbedaan pemahaman. 

Kata "Wahabi" kerap digunakan untuk ungkapan sedikit mengumpat kepada seseorang yang menentang kebiasaan lama kita dalam ber"Islam". 

Kata "Syafi'i" biasanya digunakan untuk berlindung ketika terjadi permasalahan perkara fiqh dan syariat. Tiba2 masyarakat awam akan mengaku aliran Syafi'i ketika mendapati kebiasaan dia beribadah sama orang kebanyakan di sekitarnya tapi tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah.

Kata "Aswaja" juga digunakan masyarakat awam untuk ungkapan berlindung dibalik rombongan besar Ahlussunah waljamaah. Untuk menyatakan bahwa mereka adalah serombongan besar yang sama dan bersatu.

Padahal......?

Kita, masyarakat awam yang kerap menggunakan kata2 di atas cenderung keliru menggunakannya. Karena kedangkalan pemahaman terhadap Islam. Selain kedangkalan juga masalahnya adalah keliru dalam memahami dalil. Kedangkalan karena kurang belajar. Keliru pemahaman karena memahami dalil berdasarkan tafsiran pemikiran dan hawa nafsu.

Celakanya... Saudara-saudara kita yang merasa paham Agama karena mungkin dulu pernah nyantri atau kuliah di universitas Islam berada pada posisi keliru pemahaman (kalau tidak bisa disebut gagal paham), sehingga walaupun statusnya sebagai mantan santri atau sarjana keagamaan bahkan da'i dengan gelar Kiyai Haji tidak menjamin ke"wara"an bahkan pemahaman yang kaffah terhadap Islam dalam keseharian nya. 

Tapi begitu lah wajah Islam kita di Indonesia ini yang memang telah lama mengalami pendangkalan jauh sejak masa nenek moyang kita. Wajar kita banyak mewarisi pendangkalan tersebut dengan alasan seperti diajarkan orang tua kami dulu.

Padahal orang tua tersebut juga mewarisi kekeliruan dari tetua mereka karena barangkali minimnya literasi tentang akidah yang Haq. Sehingga istilah Islam Nusantara sangat gampang disematkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam upaya mendangkalkan akidah umat tersebut kepada masyarakat yang awam tersebut. 

Balik lagi ke persoalan tiga kata di atas, Wahabi, Syafi'i dan Aswaja yang tidak tepat penggunaan nya. 

Wahabi dituduhkan kepada umat yang sudah sampai tahap pemurnian akidah dengan mengikuti jalan salafusshalih. Memang jalan Sunnah ini kembali dipopulerkan syekh Abdul Wahab 1 abad yang lalu yang menuliskan kitab2 yang isinya cuma Qolallah Qolarasulullah dan pendapat Ulama terdahulu, tanpa memasukkan pemikiran dan pemahaman pribadi beliau. 

Lantas... Sejatinya syekh Abdul Wahab cuma mengajak umat kepada ajaran Rasulullah yang sebenarnya dari sebelumnya terpapar budaya Sufi pada masa itu di Saudi. Jadi tak pantas sebenarnya istilah Wahabi (ajaran si Wahab) dilabeli kepada pejuang Sunnah karena gerakan pemurnian akidah tersebut bukan bersandar kepada pemikiran Syekh Abdul Wahab pribadi. 

Tapi menghadapi orang awam yg mencap Wahabi kepada pejuang Sunnah jaman now kita tidak perlu berkecil hati dan bereaksi. Sebab pelabelan dari orang tersebut menandakan dangkalnya pemahaman mereka terhadap Islam dan kita justru membuat kita kasihan akan hal itu. Kalau pun dibilang Wahabi pun tak ada salah, kita anggap itu suatu penghormatan kepada Syekh Abdul Wahab yang telah membuka mata umat 1 abad lalu tentang indahnya kembali kepada Sunnah Rasulullah.

Syafi'i... Banyak yang mengaku bermazhab Syafi'i tapi tak pernah sedikitpun tahu apa karya2 beliau. Termasuk ana yg menulis tulisan ini. Kemaren sempat lihat potongan video Syekh Hussain Yee dari Malaysia yang mengatakan masyakarat Melayu dan Nusantara mengaku bermazhab Syafi'i tapi tak pernah tahu apa judul buku2 beliau, jangankan tahu dan paham isi nya, bahkan nama asli beliau pun banyak yang tidak tahu. Tapi mengaku Mazhab Syafi'i seolah kenal dan dekat dengan karya imam Syafi'i dalam keseharian nya.

Sedang imam Syafi'i dan imam Malik sendiri mengaku Mazhab nya adalah Rasulullah, sebab mereka pernah berkata jika ditemukan kebenaran dari Rasulullah yang bertentangan dengan apa yang mereka sampaikan maka pendapat mereka seketika gugur dan pendapat Rasulullah lah yang paling benar.. lantas siapakah kita, umat yang besar ini yang hidup ratusan tahun setelah imam Syafi'i dan Rasulullah kok begitu getol mengaku bermazhab Syafi'i tanpa sedikitpun kenal dengan karya beliau. 

Hanya sebagai pengokohan tempat berdiri di keramaian berdasarkan apa yang diajarkan orang-orang tua kita dahulu yang juga didapatkan turun temurun dan belum sempat dikoreksi kebenaran nya oleh satu generasi pun. Kalau pun ada korektor pasti kalah di suara kebanyakan dan akhirnya tersisih dan menyendiri menghidupkan cahaya Sunnah dalam dirinya sendiri dan keluarga nya.

Begitu juga halnya dengan penggunaan kata 'Aswaja" yang merujuk kepada Ahlussunah Waljamaah atau Sunni. Banyak masyarakat yang mengaku beraliran Sunni tapi bahkan tidak bisa membedakan mana amalan Sunni dan mana amalan Syiah. Banyak yang tidak bisa membedakan mana yang bid'ah mana yang Sunnah. Ketika disebutkan suatu amalan yang mereka kerjakan adalah bid'ah seketika mereka membela diri beginilah yang diajarkan nenek moyang kami, dan nenek moyang kami adalah Sunni. 

Mereka bersuara lantang bahwa mereka lah Aswaja sebenarnya padahal mereka lupa bahwa Aswaja artinya "Ahlussunah", tapi dimanakah Sunnah nya?... mungkin banyak yang memahami kata berikut nya saja yaitu "Waljamaah" yang dimaknai sebagai "berjamaah". Akhirnya yang ada adalah sholawat beramai-ramai, zikir beramai-ramai, dan segala macam ibadah yang bisa dilakukan beramai-ramai. Asal ramai itulah Aswaja. Sejatinya hilangkan saja kata Sunnah nya menjadi "Ahlul Jamaah", lebih pas dengan realitasnya, ana kira.

Begitulah dahsyatnya pendangkalan. Di suatu kajian ana pernah dengar, cara setan menggoda manusia yaitu dengan membuat mereka malas menuntut ilmu agama. Akhirnya yang terjadi benar seperti Rasulullah sampaikan umat ini ramai tapi ibarat buih di lautan, terombang-ambing terbawa ombak dan angin karena kosongnya diri pada pemahaman.

Pendangkalan juga menyebabkan Taqlid buta. Ghuluw dalam mengidolakan seseorang dan membela semua perkataannya walaupun kadang tersandung syubhat.

Tapi... Sepanjang apapun tulisan ana menyuarakan pendangkalan ini, kembali lagi kepada hidayah dan kehendak Allah. Sebab, tidak semua orang Allah kasih jalan untuk mendapatkan Nikmat besar ke dua setelah Islam yaitu "Nikmat mengenal Sunnah setelah Islam".

Jadi bagi antum yang berada dalam grup ini, yang merasa sudah mendapatkan nikmat tersebut mari terus jaga dan pertahankan dengan senantiasa menuntut ilmu agama. Tentunya dengan jalan mengambil ilmu dari pengajar yang bermanhaj Salafusshalih agar kelelahan pikiran/hati dan habisnya waktu dalam belajar tidak berakhir sia-sia belaka, karena ada jaminan pahala serta Jannah dari Allah jika kita mengamalkan dengan benar apa yang kita pelajari tersebut.

Jangan ikut pemahaman ambil baiknya, buang buruknya, sebab antum yang statusnya baru sebagai penuntut ilmu, tidak akan bisa membedakan mana syubhat mana syariat jika ngaji dengan pengajar yang tidak bermanhaj.

Oleh : Abu Maldiba Hafizhahullah 

#semangatmenuntutilmu
#koreksidiri

Waallahu a'lam bishawab 

*Semoga Penulis DiBerkahi* ______________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar