Minggu, 10 Januari 2021

KISAH RASULULLAH ﷺ : Nama Yatsrib Menjadi Madinah

KISAH RASULULLAH ﷺ
Bagian 67
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّد

Nama Yatsrib Menjadi Madinah

Yatsrib berasal dari nama Yatsrib bin Mahlail. Ia adalah keturunan raja-raja Amaliqah yang dahulu pernah berkuasa di kota itu. Setelah Rasulullah hijrah, beliau mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah.

Cuaca di Kota Madinah sangat kering. Pada musim dingin suhunya sangat rendah dan pada musim panas suhunya jauh lebih panas dari pada Mekah. Banyak sahabat Muhajirin yang tidak kuat dengan cuaca tersebut dan jatuh sakit. Mereka dilanda demam tinggi yang melemahkan tubuh. Abu Bakar, Bilal, dan Amir bin Fuhairah termasuk yang jatuh sakit.

Saat sakit, Abu Bakar sering berkata, ".....mati itu lebih dekat dari pada tali sepatu kita."

Sementara itu, Bilal tidak suka berkata apa-apa jika sedang sakit. Namun, ketika sakitnya hilang, ia sering menangis karena merindukan Mekah sambil berkata, 

"Apakah aku dapat berjalan malam hari di lembah yang di sekelilingku ada pohon-pohon idzkir dan jalil (nama pohon yang banyak terdapat di Mekah). Dan apakah pada suatu hari aku dapat sampai lagi ke tempat air Majinnah dan apakah dapat terlihat lagi olehku Gunung Syamah dan Gunung Thafil (dua buah gunung dekat Mekah)."

Akan halnya dengan Amir bin Fuhairah, jika menderita demam tinggi sering bersyair, 

"Sungguh aku mendapati mati sebelum merasakannya..."

Rasulullah amat prihatin dengan sakit beberapa orang sahabat akibat cuaca panas tersebut. Beliau juga mendengar keluhan-keluhan mereka. Karena itu, Rasulullah pun berdoa kepada Allah, 

"Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta pada Kota Madinah sebesar rasa cinta kami pada Mekah, atau bahkan lebih! Ya Allah, berilah berkah pada pekerjaan kami untuk mencari nafkah, sehatkanlah Kota Madinah ini untuk kami, dan pindahkanlah panasnya ke tempat lain yang Engkau kehendaki."

Allah mengabulkan doa Rasulullah itu dan memindahkan panas Kota Madinah ke Dusun Juhfah yang letaknya 82 mil dari Madinah.

Selain berdoa dan mengatasi masalah cuaca, Rasulullah pun melakukan hal lain yang sangat indah agar kaum Muhajirin yang berasal dari Mekah tumbuh rasa cintanya pada Madinah. 


Tabarruk

Tabarruk adalah mengharapkan berkah. 
Suatu ketika, saat Rasulullah tidur, datanglah Ummu Sulaim. Melihat keringat Rasulullah yang sangat harum menetes, Ummu Sulaim menadahnya. Tidak lama kemudian, Rasulullah bangun dan bertanya, 

"Apa yang sedang kamu lakukan, wahai Ummu Sulaim?."

Ummu Sulaim menjawab, 
"Kami mengharap berkahnya untuk anak-anak kecil kami."

Rasulullah kemudian berkata, "Engkau benar."


Saling Bersaudara

Suatu hari, Rasulullah mengumpulkan para sahabat Muhajirin dan Anshar. Di hadapan mereka, beliau bersabda, 

"Hendaklah kalian bersaudara dalam agama Allah dua orang-dua orang."

Para sahabat saling pandang. Beberapa di antara mereka tersenyum. Kemudian, Rasulullah bersabda, 

"Hamzah bin Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya, bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, putra angkat Rasulullah."

Kemudian Rasulullah menyebut nama-nama sahabat lain yang saling dipersaudarakan. Seorang Muhajirin dipersaudarakan dengan seorang dari Anshar. Tercatat dalam sejarah, ada seratus orang yang saling dipersaudarakan. Lima puluh dari Anshar dan lima puluh dari Muhajirin.

Tujuan Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya adalah untuk menghilangkan rasa asing dalam diri sahabat Muhajirin di Kota Madinah. Selama itu, persaudaraan ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa semua orang Islam bersaudara. Selain itu, juga agar setiap Muslim menjadi saling menolong, yang kuat menolong yang lemah, yang mampu menolong yang kekurangan.

Buah persaudaraan ini akan dirasakan terus selama tahun-tahun sulit yang kelak ditempuh Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah. Ternyata, kalangan Anshar memperlihatkan sikap ramah yang luar biasa kepada saudara-saudara Muhajirin mereka.

Sudah sejak semula golongan Anshar menyambut gembira kaum Muhajirin. Mereka begitu mengerti bahwa kaum Muhajirin meninggalkan segala yang mereka miliki, termasuk harta benda dan seluruh kekayaan di Mekah. Sebagian besar dari mereka memasuki Madinah dengan perut lapar tanpa ada lagi yang dapat dimakan. Apalagi mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan.

Tentu saja sebagai kaum yang berbudi, kaum Muhajirin tidak begitu saja terlena dengan bantuan saudara-saudara Anshar mereka. Kaum Muhajirin berusaha melakukan banyak pekerjaan agar mereka bisa kembali mandiri secepatnya. 


Persaudaraan Sejati

Aqidah Islamiyah adalah dasar persaudaraan sejati. Tidak mungkin dua orang yang berlainan agama bisa bersaudara seerat dua orang yang sama agamanya. Rasulullah menghimpun hati para sahabatnya begitu dekat, sehingga tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali ketakwaan dan amal shalih.


Bersambung…

KISAH RASULULLAH ﷺ : Rasulullah Tiba di Quba

KISAH RASULULLAH ﷺ
Bagian 64
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّد


Rasulullah Tiba di Quba

Kaum Muslimin di Yatsrib sudah mendengar bahwa Rasulullah telah meninggalkan Mekah. Oleh sebab itu mereka menanti-nanti dan berharap-harap kedatangan beliau. Bahkan beberapa dari mereka pergi ke Quba, suatu kampung yang letaknya beberapa mil dari Yatsrib untuk menyambut Rasulullah.

Setiap pagi mereka pergi bersama-sama ke tempat itu. Jika sampai siang Rasulullah belum datang, mereka pergi dan berteduh sebentar di tempat lain. Ketika petang tiba, dan Rasulullah belum juga tiba, mereka pulang ke Yatsrib. Begitu terus setiap hari.

Rasulullah dan rombongan memang masih agak jauh dari Yatsrib. Suatu hari ketika panas matahari tengah begitu terik, Rasulullah tiba di Quba. Saat itu, penduduk Quba juga sudah banyak yang memeluk Islam. Mereka juga tengah menanti-nanti kedatangan Rasulullah. Namun, tidak seorang pun yang sudah mengenal wajah Rasulullah dan Abu Bakar. Oleh sebab itu, ketika beliau dan Abu Bakar berteduh di bawah pohon kurma, tidak seorang pun yang datang menyambut. Sampai akhirnya, lewatlah seorang Yahudi yang mengetahui Rasulullah dan Abu Bakar yang tengah berteduh itu. Yahudi itu segera naik ke tempat yang tinggi dan berteriak sekeras-kerasnya, 

"Hai orang-orang Arab! Itulah orang yang kamu harap-harap dan kamu nanti-nanti kedatangannya! Ia telah berada di sini! Ia telah datang!."

Demikian teriak orang Yahudi itu berulang-ulang. Orang-orang Quba datang berduyun-duyun ke tempat Rasulullah berteduh. Ketika tiba, mereka memberi hormat kepada Abu Bakar. Melihat itu, Abu Bakar segera membuka selendangnya dan meneduhi Rasulullah. Barulah orang-orang sadar bahwa mereka telah salah menyalami orang.

Orang-orang meminta Rasulullah beristirahat selama beberapa hari di Quba. Rasulullah pun mengabulkan permintaan itu. Beliau tinggal di rumah seorang sahabat Anshar bernama Kaltsum bin Hadam.


Kerinduan pada Rasulullah

Banyak penduduk Muslim Yatsrib yang belum melihat Nabi Muhammad. Kerinduan akan sosok Rasulullah melambung saat menanti kedatangan beliau. Mereka ingin bertemu laki-laki yang telah menderita jiwa dan raga dalam berjuang, terusir dari kampung halaman, tetapi tetap bersemangat, percaya diri, kokoh, berhati tulus, dan terus berdakwah, tanpa pernah berhenti.


Hijrah Ali bin Abi Thalib

Bagaimana dengan Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan pesan Rasulullah, setelah mengembalikan barang-barang titipan kepada pemiliknya, Ali bin Abi Thalib berangkat hijrah. Ali pergi mengawal keluarga Rasulullah dan keluarga Abu Bakar. Mereka adalah Fatimah, Ummu Kultsum, Saudah, Ummu Aiman dan anaknya, Usamah. Selain itu juga turut istri Abu Bakar, Ummu Ruman dan anak-anaknya, Aisyah, Asma, dan Abdullah. Juga ada orang-orang Muslim lain yang lemah dan tidak berdaya.

Terbayang dengan jelas betapa beratnya tugas Ali bin Abi Thalib saat berhijrah. Apalagi mereka semua kekurangan, sehingga Ali bin Abi Thalib harus berjalan kaki menempuh jarak lebih dari 400 kilometer di tengah padang pasir itu.

Selama perjalanan, mereka berhenti dan bersembunyi pada siang hari untuk menghindari kejaran pasukan Quraisy. Jika malam tiba, barulah mereka berangkat dan meneruskan perjalanan.

Akhirnya, tibalah rombongan hijrah Ali bin Abu Thalib di Quba. Di sana, mereka berjumpa dengan Rasulullah yang masih berada di tempat itu.

Begitu jauh dan beratnya perjalanan, kaki Ali bin Abi Thalib membengkak dan dipenuhi luka di sana-sini.

Rasulullah merasa sangat iba kepada sepupunya ini. Beliau berdoa kepada Allah memohon agar Allah berkenan menyembuhkan semua luka di kaki Ali dan memulihkan kekuatannya seperti sedia kala. 
Dengan kedua tangan beliau yang mulia itu, Rasulullah mengusap kaki Ali bin Abi Thalib. Alhamdulillah, segera saja pulihlah semua luka, kempislah bengkak, dan lenyaplah semua rasa sakit dari kaki Ali bin Abi Thalib.

Saat Ali bin Abi Thalib dan orang-orang yang dikawalnya tiba di Quba, Rasulullah telah berhenti di sana selama lebih dari sepuluh hari. Dalam sepuluh hari itu, beliau dan para sahabat yang lain telah membangun sebuah masjid. Itulah masjid pertama dalam sejarah Islam. Di dalam Al Qur'an, Allah menyebut masjid itu dengan nama Masjid Taqwa. Sampai kini, masjid itu dikenal sebagai Masjid Quba.


Masjid Quba

Rasulullah adalah orang pertama yang meletakkan batu untuk mendirikan Masjid Quba. Setelah itu, beliau menyuruh Abu Bakar lalu Umar bin Khattab dan setelahnya Utsman bin Affan. Ammar bin Yasir adalah orang yang pertama kali membangun temboknya. Kemudian, para sahabat Muhajirin dan Anshar membangunnya bersama-sama.

Begitu masjid selesai, kaum Muslimin di Quba menyangka Rasulullah akan tinggal di Quba lebih lama lagi. Namun, Allah memerintahkan Rasulullah untuk berangkat ke Yatsrib. Begitu mengetahui hal itu, dengan wajah sedih, Kaum Muslimin Quba mendatangi Rasulullah dan bertanya pelan, 

"Ya Rasulullah apakah Tuan memang menghendaki rumah yang lebih baik daripada rumah kami?."

Rasulullah mengerti betapa besar rasa sayang kaum Muslimin Quba terhadap dirinya. Beliau pun menjawab dengan kata-kata yang sangat halus, 

"Oh tidak begitu, Allah memerintahkan saya berangkat ke Yatsrib. Karenanya, hendaklah Tuan-Tuan membiarkan unta saya terus melanjutkan perjalanan."

Sebelum berangkat, Rasulullah berdiri di Masjid Quba. Para sahabat berkumpul di hadapan beliau. Rasulullah bertanya kepada mereka, 

"Apakah Anda sekalian orang-orang beriman?."

Semuanya terdiam, tidak seorang pun yang berani menjawab. Kemudian, Rasulullah bertanya lagi, 

"Apakah Anda sekalian orang-orang yang beriman?."

Kembali semua orang terdiam kecuali Umar bin Khattab. Saat itu Umar menjawab, 

"Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka semua orang-orang beriman dan saya termasuk salah seorang dari mereka."

Rasulullah bertanya lagi, 

"Apakah anda sekalian percaya pada keputusan Allah?."

Kali ini semuanya menjawab, "Ya."

"Apakah Anda sekalian bersabar akan malapetaka yang menimpa?."

"Ya, ya Rasulullah."

"Dan apakah Anda sekalian bersyukur saat mendapat kebahagiaan?." "Bersyukur saat mendapat kebahagiaan?."

"Ya, kami bersyukur ya Rasulullah."

"Demi Tuhan, kalau begitu Anda sekalian orang-orang beriman."


Mengapa Masjid  Dibangun Lebih Dulu?

Masyarakat Islam tidak akan tegak jika tidak ada masjid. Oleh karena itu, perbedaan pangkat, kekayaan, kedudukan, dan lainnya akan terhapus jika umat Islam selalu bertemu setiap hari di masjid untuk menyembah Allah. Masjid juga merupakan tempat berkumpulnya kaum Muslimin untuk mempelajari syariat Allah.


Bersambung…

KISAH RASULULLAH ‎ﷺBagian ‎63اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدBuraidah

KISAH RASULULLAH ﷺ
Bagian 63
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّد


Buraidah

Tidak hanya Suraqah bin Malik yang mengincar hadiah seratus ekor unta. Pemimpin Kabilah Banu Sahmin yang bernama Buraidah bin Al Hasib Al-Aslami juga keluar mencari beliau. Ia memimpin tujuh puluh orang prajurit dan menyusuri jalan-jalan ke arah Yatsrib. Di suatu tempat, tiba-tiba saja secara kebetulan mereka bertemu rombongan Rasulullah.

"Kepung!," perintah Buraidah. Beberapa detik kemudian, tujuh puluh pedang, tombak, dan panah mengurung Rasulullah dan memaksa beliau berhenti. Buraidah menegur Rasulullah. Beliau pun menjawabnya. Kemudian, sebelum Buraidah sempat bertanya lagi, Rasulullah mendahuluinya, "Siapa Anda?."

"Saya Buraidah bin Al-Hasib."

Dengan tenang Rasulullah berkata kepada Abu Bakar, "Mudah-mudahan suasana mencekam ini kembali menjadi lebih baik."

Kemudian, beliau memandang kembali Buraidah dan bertanya, "Dari keturunan siapa Anda?."

"Dari desa Aslam, keturunan Sahmin."

Kembali Rasulullah memalingkan wajahnya ke Abu Bakar dan berkata, "Kita telah selamat dan keluar dari jangkauan panah mereka."

"Siapakah engkau?," kali ini Buraidah yang bertanya.

"Saya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib."

Dengan kehendak Allah, saat itu juga Buraidah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk Islam. Melihat pemimpin mereka memeluk Islam, tujuh puluh orang pasukan pengepung pun mengikuti jejaknya.

Setelah itu, Buraidah dan pasukannya mengawal rombongan Rasulullah sampai keluar dari wilayah mereka.

Dalam situasi diburu dan dikejar pun, Rasulullah tetap mampu mengumpulkan pengikut, berkat ketenangan, kekuatan iman, dan pertolongan Allah.


Penyebaran Islam di Yatsrib

Pesatnya perkembangan Islam di Yatsrib tidak lepas dari jasa Mush'ab bin Umair yang diutus Rasulullah ke Yatsrib untuk mengajarkan Islam. Mush'ab yang cerdas dan berhati lembut mampu membuat orang yang memusuhinya menjadi kawan.

Berikut ini adalah salah satu kisah kecemerlangan dakwah Mush'ab bin Umair.

Jauh sebelum Rasulullah dan kaum Muslimin Mekah berhijrah, di Yatsrib, Mush'ab bin Umair sedang mengajarkan Islam kepada sekelompok orang di kebun Bani Zafar. Sa'ad bin Muadz tidak senang mendengar berita ini. Ia lalu mendatangi Usaid bin Hudhair. Kedua orang ini adalah para pemimpin kaumnya.

"Usaid, temui orang Mekah itu. Dia datang ke daerah kita dan mengajarkan agama baru kepada orang-orang kita. Agama itu bisa membuat orang lemah dan miskin bangkit melawan kita."

Mendengar itu, Usaid pergi menjinjing tombak ke kebun Bani Zafar. Ditegurnya Mush'ab bin Umair dengan tombak teracung. Namun, Mush'ab berkata tenang, "Maukah kau duduk dulu dan mendengarkan? Kalau kau tidak menyukainya, aku bersedia pergi dari sini."

Usaid berpikir sejenak, "Baiklah, itu cukup adil."

Kemudian, ia duduk dan mendengarkan Mush'ab. Semakin lama, hati Usaid makin tertarik. Akhirnya, ia memeluk Islam saat itu juga. Setelah itu, ia menemui Sa'ad bin Muadz.

"Apa? Jadi sekarang justru engkau ikut memeluk agama baru itu?," teriak Sa'ad marah.

Ia pun bergegas menemui Mush'ab sambil menyandang pedangnya. Namun, apa yang terjadi pada Usaid, terjadi pula pada Sa'ad. Begitu mendengar penjelasan Mush'ab tentang Islam, ia begitu tertarik sehingga menjadi Muslim saat itu juga.

Setelah itu, tanpa membuang waktu, ia pergi menemui kaumnya dan berseru, "Hai Banu Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang diriku?."

"Engkau adalah pemimpin kami, yang paling dekat dengan kami, engkau punya pendapat dan pengalaman yang terpuji."

"Maka kata-katamu, baik wanita maupun pria, bagiku adalah suci selama kalian beriman kepada Allah dan utusan-Nya," demikian seru Sa'ad bin Muadz.

Sejak saat itu, seluruh suku Abdul Asyhal memeluk Islam.


Amr bin Jamuh

Keberanian kaum Muslimin di Yatsrib benar-benar di luar dugaan kaum Muslimin di Mekah. Para pemuda di sana dengan sangat berani mempermainkan berhala-berhala orang-orang yang masih musyrik.

Amr bin Jamuh adalah seorang bangsawan dari Banu Salamah. Ia mempunyai sebuah berhala bernama Manat yang terbuat dari kayu. Setelah itu para pemuda dari Banu Salamah masuk Islam, diam-diam mereka mengambil Manat pada malam hari dan memasukkan berhala kayu itu ke dalam lubang penuh lumpur.

"Manat!  Ke mana Tuhanku itu?," seru Amr bin Jamuh. Pagi-pagi sekali, ia sudah datang ke tempat penyembahan dan kebingungan mencari Manat yang hilang. Setelah mencari ke sana ke mari, ia menemukan Manat tersuruk di tempat yang sangat kotor.

Amr segera mengambil, mencuci, dan membersihkan tuhannya itu sampai bersih dan meletakkannya lagi di tempat semula.

"Siapa yang berani mengganggu Manat, akan kutebas lehernya!," ancam Amr bin Jamuh kepada orang-orang di sekitarnya.

Namun, pada malam harinya para pemuda Muslim kembali mengambil dan memasukkan Manat ke lubang yang kotor dan berlumpur. Sambil menuduh-nuduh dan memgancam-ancam, Amr bin Jamuh kembali mencuci dan membersihkan tuhannya.

Begitulah terjadi berkali-kali sampai akhirnya rasa kesal Amr bin Jamuh berbalik pada Manat. Amr mengalungkan pedang pada Manat sambil berkata pada tuhannya itu, "Kalau kau memang berguna, bertahanlah! Kusertakan pedang ini bersamamu!."

Keesokan harinya, Amr sudah kembali kehilangan Manat. Ia menemukan tuhannya itu di dalam sumur bersama bangkai seekor anjing. Sementara itu, pedangnya hilang.

"Mengapa kau tidak membela dirimu? Mengapa kau biarkan dirimu terhina?," keluh Amr tidak berdaya.

Beberapa orang pemuka masyarakat yang sudah memeluk Islam mendekati Amr dan mengajaknya berbicara. Saat itu, sadarlah Amr bin Jamuh betapa sesatnya ia selama ini. Setelah itu, tanpa ragu lagi ia memeluk Islam dan menjadi Muslim yang taat.


Bersambung...