KISAH RASULULLAH ﷺ
Bagian 47
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّد
Hisyam bin Amr
Hisyam bin Amr berjalan bolak-balik di depan rumahnya sambil menggerutu, "Tiga tahun sudah Bani Hasyim diasingkan! Padahal, mereka masih bersaudara dengan suku-suku Quraisy yang lain. Ada yang sebagai sepupu, ipar, paman, bibi.
Kalau saja tidak ada aku dan beberapa orang lain yang suka menyelundupkan makanan dengan diam-diam, Bani Hasyim tentu sudah kelaparan! Sudah saatnya aku harus berbuat sesuatu!."
Dengan tekad demikian, Hisyam bin Amr pergi menemui sahabatnya, Zuhair bin Umayyah. Zuhair adalah anggota bani Makhzum, tapi bibinya adalah Atikah binti Abdul Muthalib dari Bani Hasyim.
"Zuhair," tegur Hisyam,
"Aku heran engkau masih bisa tenang menikmati makanan, pakaian, dan lainnya, padahal engkau tahu keluarga ibumu dikurung sedemikian rupa hingga tidak boleh berhubungan dengan orang lain, tidak boleh berjual beli, tidak boleh saling menikahkan! Aku bersumpah kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibuku, keluarga Abdul Hakam bin Hisyam, lalu diajak untuk mengasingkan mereka, tentu aku tolak mentah-mentah!."
Zuhair terperangah,
"Sebetulnya sudah lama sekali persoalan ini meresahkan hatiku," kata Zuhair kemudian.
"Jadi apa lagi yang engkau tunggu?," tanya Hisyam.
Keduanya pun sepakat untuk bersama-sama membatalkan piagam kejam itu. Namun, itu tidak cukup. Mereka harus mendapat dukungan juga dari yang lain.
Kemudian, secara rahasia malam itu juga mereka menemui Mut'im bin Adi dari Bani Naufal, Abu Al Bakhtary bin Hisyam, dan Zam'a bin Aswad dari Bani Asad. Kelima orang itu membulatkan tekad untuk membatalkan piagam yang telah tiga tahun dipasang di dinding Ka'bah.
Merobek Piagam
Esok harinya, Zuhair mengelingi Ka'bah tujuh kali seraya berseru, "Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian, padahal Bani Hasyim binasa, tidak bisa membeli atau menjual sesuatu pun! Demi Allah, saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!."
Ketika itu, Abu Jahal berada tidak jauh dari tempat Zuhair, dengan cepat, datang menghampiri sambil berteriak,
"Engkau pendusta! Demi Allah, piagam itu tidak boleh dirobek!."
"Jika Zuhair engkau sebut pendusta, engkau jauh lebih pendusta!," balas Zam'a bin Aswad,
"Sebenarnya dulu pun saat piagam itu ditulis, kami tidak rela!."
"Zam'a benar!," dukung Abu Al Bakhtary,
"Dulu kami tidak rela terhadap penulisan piagam itu dan kami pun tidak ikut menetapkannya!."
"Zam'a dan Abu Al Bakhtary benar!," sahut Mut'im bin Adi,
"Dan siapa yang berkata selain itu dialah sang pendusta."
"Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri dari piagam itu dan apa yang tertulis di dalamnya!."
Mata Abu Jahal berkilat-kilat dan bahunya gemetar menahan marah.
"Kalian pasti sudah bersekongkol tadi malam!," tuduhnya.
"Kalian diam-diam berkumpul di tempat tersembunyi dan memutuskan untuk mengingkari piagam bersama ini!."
Perang mulut hampir memuncak ketika Abu Thalib yang ketika dari tadi diam di pojok, berjalan mendatangi mereka. Sikapnya yang tenang membuat orang-orang yang sedang bertengkar terdiam.
Mereka memandang Abu Thalib dan menanti yang akan dikatakan pemimpin Bani Hasyim itu.
"Semalam Muhammad menyampaikan sebuah pesan kepadaku mengenai piagam itu," demikian kata Abu Thalib.
Rayap yang Diutus Allah
"Muhammad menyampaikan kepadaku bahwa Allah telah mengutus rayap untuk memusnahkan piagam itu," lanjut Abu Thalib dengan tenang.
Orang-orang itu saling pandang dengan rasa heran bercampur takjub. Benarkah kabar ini?
Abu Thalib cepat berkata lagi, "Jika kemenakanku itu berbohong, kita biarkan apa yang ada di antara kalian dan dia. Biarlah kami menanggung pengasingan selamanya. Namun jika Muhammad benar, kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena terhadap kami."
Tampak sekali Abu Thalib sangat yakin dengan perkataannya, sehingga bersedia menanggung boikot sampai mati jika perkataan Rasulullah tidak benar.
Semua orang terdiam. Mereka terharu sekaligus mengagumi rasa saling percaya dan kesetiaan yang demikian tinggi antara Abu Thalib dan Rasulullah.
"Baiklah, engkau adil," kata mereka, "Kami terima perkataanmu tadi, Abu Thalib."
Berbondong-bondong, mereka pergi ke Ka'bah dan menemui bahwa yang dikatakan Rasulullah memang benar. Rayap telah memakan isi piagam itu, kecuali sebagian kecil yang bertuliskan "Bismika allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah)."
Demikianlah, akhirnya piagam itu dibatalkan. Rasulullah dan keluarganya kini bisa kembali berada di tengah-tengah masyarakat seperti semula.
Apakah kini Rasulullah dan para pengikutnya bisa bernafas lebih lega? Apalagi adanya kekuasaan Allah melalui rayap, mungkinkah hati orang-orang musyrik berubah? Ternyata sama sekali tidak! Justru kekufuran mereka semakin menjadi-jadi. Mereka itu seperti yang tercantum dalam firman Allah:
وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ
Surah Al-Qamar (54:2)
Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: (Ini adalah) sihir yang terus menerus.
Bulan-Bulan Suci
Ada empat bulan suci dalam setahun ketika Rasulullah dan kaum Muslimin dibebaskan dari pemboikotan. Bulan-bulan suci itu adalah bulan pertama, Muharram (saat diharamkannya kekerasan), lalu bulan ketujuh, Rajab (yang dihormati), kemudian bulan kesebelas, Dzulqa'dah (bulan damai), terakhir bulan kedua belas Dzuhijjah (bulan haji).
Tetap Berdakwah
Bulan-bulan suci (Muharram, Rajab, Dzulqa'dah, Dzulhijjah) itulah dimanfaatkan Rasulullah untuk semakin giat berdakwah selama pemboikotan.
Bersambung…